Franchise Transformers akhirnya kembali lagi ke layar lebar lewat Rise of The Beasts. Setelah run yang buruk dari Michael Bay di Age of Extinction dan The Last Knight, serta upaya soft-reboot lewat Bumblebee, Rise of The Beasts adalah upaya Paramount dan Hasbro untuk menyegarkan kembali franchise Transformers.
Kali ini, Paramount dan Hasbro memboyong lini robot yang dulu populer lewat serial televisi Beast Wars dan Beast Machines. Bersama para Transformers classic dari lini G1, Rise of The Beasts berfokus pada pertarungan antara Autobots dengan Terrorcons dan Unicorn. Ya, tidak ada lagi Decepticon dengan Megatron, Starscream, dan kawan-kawannya. Adapun direksinya kali ini berada di tangan Steven Caple Jr yang sempat menyutradarai Creed II.
Film ini adalah semi-sequel dari film Bumblebee (2018). Kenapa? Karena ceritanya tidak berhubungan langsung dengan film tersebut. Berlatar tahun 1994, Transformers: Rise of The Beasts menceritakan upaya Autobots, pimpinan Optimus Prime (Peter Cullen), mencegah Terrorcons membangkitkan dewa kegelapan pemakan planet, Unicorn. Unicorn mengincar planet dengan kandungan Energon melimpah yang gawatnya bumi memenuhi standar itu.
Terrorcons sudah selangkah lebih maju dibanding para Autobots. Mereka memegang kunci Transwarp yang menjadi jalan untuk memanggil Unicorn. Untungnya, Autobots tidak sendirian. Bantuan datang dari para transformers yang menyamar menjadi hewan, Maximals. Pemimpinnya, Optimus Primal (Ron Pearlman).
Sama seperti film Transformers terdahulu, pada film Transformers: Rise of The Beast ini para Autobots memiliki kedekatan dengan manusia. Apabila Transformers (2007) menonjolkan relasi Bumblebee dengan Sam Witwicky dan film Bumblebee (2018) menonjolkan relasi Bumblebee dengan Charlie Watson, Rise of The Beasts menonjolkan relasi Noah (Anthony Ramos) dengan Mirage (Pete Davidson) sang mobil Porsche Silver sebagai story device-nya.
Dengan judul Rise of The Beasts, penulis sudah mengharapkan Maximals bakal berperan besar di film ini. Apa yang didapat sebaliknya. Walau film ini berhasil menghadirkan battle robot-robtan yang terasa epic dan megah, spotlight tetap ada pada Autobots. Maximals tidak mendapat spotlight yang cukup. Sangat disayangkan membuang potensi dari para cast yang sudah sangat menarik.
Lalu, apa kelebihan film ini? Ya seperti Transformers-transformers sebelumnya, pada aspek spectacle-nya saja. Pertarungan para robot didukung dengan CGI yang tidak setengah matang dan koreografi yang well-executed. Direksi Steven Caple memang tidak seberingas (dan semeledak) Bay yang cinematography-nya bisa begitu frantic dan dinamis, namun setidaknya film ini menghadirkan kisah yang lebih koheren dari awal hingga akhir.
Scoring yang di suguhkan juga menambah ketegangan dan keseruan dalam film ini Mata dan telinga benar-benar dimanjakan!
Faktor nostalgia bisa jadi nilai lebih juga. Bagi kalian yang besar di periode stasiun televisi swasta banyak menanyangkan serial-serial anak dari luar, melihat aksi Maximals yang seadanya cukup bikin kangen dengan masa nonton Beast Wars dan Beast Machines di SCTV dulu. Kalau ditonton lagi, kedua serial itu mungkin sudah terasa rudimentary grafisnya. Namun, pada masanya, Beast Wars dan Beast Machines adalah satu-satunya cara menonton Transformers dengan animasi 3D.
Mengakhiri review ini, penulis tidak berpikir bahwa Transformers: Rise of the Beasts adalah film yang buruk. Rise of The Beasts mampu mengestablish universe yang baru dengan cukup baik dan film ini berhasil menjadi pondasi yang meyakinkan untuk masa depan franchise Transformers. Dengan durasi sekitar 2 jam 7 menit, film ini terasa padat dan pas. Oya, ada satu post credit scene yang cukup membuat penonton semangat dan penasaran akan project film selanjutnya.